Jumat, 20 Februari 2009

Presiden RI


Ir. Soekarno
1945-1967


H. Muhammad Soeharto
1967-1998


B. J. Habibie
1998-1999


Abdurrahman Wahid
1999-2001


Hj. Megawati Soekarno Putri
2001-2004


Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono
2004-sekarang


Selasa, 17 Februari 2009

Mahatma Gandhi

Mohandas Karamchand Gandhi lahir pada tahun 1869. Ia lahir di Gujarat, India dan tinggal beberapa tahun di Inggris dan Afrika Selatan. Ia kembali ke India dari Afrika Selatan untuk bergabung dengan Gerakan Pembebasan menentang penguasa Inggris.

Gandhi merupakan seorang yang sangat menghayati kehidupan yang ia jalani. Di setiap kesempatan, ia selalu mencari jawaban atas banyak pertanyaan-pertanyaan dalam berbagai bidang. Ia menjudulkan autobiografinya dengan "Pengalamanku tentang Kebenaran". Nyatanya, sepanjang hidup ia habiskan untuk mencari kebenaran dan terus berusaha menemukan jawaban.

Ia mengawali karirnya sebagai seorang pengacara di Afrika Selatan. Suatu ketika, dalam perjalanan di atas kereta api menuju Pretoria, Gandhi diminta meninggalkan kursi penumpang kelas satu yang ditumpanginya meskipun ia telah membayar tiketnya. Kondektur kereta yang berkulit putih itu dengan sinis mengatakan bahwa selain orang kulit putih tidak diperkenankan menempati kursi kelas utama. Tetapi Gandhi menolak dan bersikeras untuk tetap menempati kursi yang telah dibayarnya itu. Karena penolakan ini, sang kondektur menurunkan Gandhi di sebuah stasiun kecil.

Konon, itulah salah satu kejadian yang kemudian membuatnya selalu berjuang untuk keadilan. Dia selalu mencontohkan bahwa kita dapat melawan ketidakadilan tanpa kekerasan. Semasa di Afrika Selatan Gandhi mulai mengembangkan idenya yang disebut Ahimsa atau anti-kekerasan dan mengajarkan orang-orang India yang hidup di sana bagaimana menerapkan Ahimsa untuk mengatasi berbagai ketidak adilan yang mereka alami. Metode yang disebut juga sebagai perlawanan pasif atau anti-bekerjasama dengan mereka yang melakukan ketidakadilan. Gandhi yakin, dengan menolak bekerjasama, si oknum akhirnya akan menyadari kesalahannya dan kemudian menghentikan sikap tak adilnya.

Gandhi berhasil dalam berbagai usaha yang dilakukannya di Afrika Selatan. Namun, tiba juga saatnya ia mesti kembali ke India yang sedang marak oleh berbagai Gerakan Pembebasan dari Penguasa Inggris. Ia merasakan sudah menjadi kewajibannya untuk bergabung dan berkontribusi untuk sebuah cita-cita "India Merdeka". Gandhi meminta kepada pengikutnya di India untuk melaksanakan ajaran-ajaran Ahimsa dan menunjukkan betapa ajaran tersebut dapat menjadi bagian dari perjuangan kemerdekaan India.

Sementara Pergerakan terus berlangsung, Gandhi tetap melanjutkan pencarian akan kebenaran dan merancang strategi yang sesuai untuk menghadapi musuh. Ia menyebutnya Satyagraha - Penegakan Kebenaran. Gandhi yakin bahwa dengan melihat penderitaan seseorang yang menegakkan kebenaran akan memberi pengaruh dan akan menyentuh nurani musuh. Satyagraha kemudian dijalankan secara luas dan efektif dalam perjuangan kemerdekaan. Perjuangan ini akhirnya mencapai satu titik dimana Inggris tak sanggup bertahan menentang ribuan masa rakyat yang menetangnya, aksi damai yang menuntut kemerdekaan. Gandhi yakin kepada setiap usaha dan perjuangan yang dilakukan oleh mereka yang dibimbing langsung olehnya dalam menjalankan Satyagraha, dan karena ajaran dan pelatihan Satyagraha inilah perjuangannya membawa hasil.

Gandhi masih berkesempatan menyaksikan India merdeka dari penjajahan Inggris, namun ia amat sedih menyaksikan pertikaian antara Muslim dan Hindus, juga kepada ribuan rakyat yang menjadi korban Pemisahan India-Pakistan. Keyakinannya atas Persaudaraan Umat Manusia (The Brotherhood of Man) tetap tak tergoyahkan walaupun India kini terpisah menjadi India dengan kelompok mayoritas Hindu sekular, dan Pakistan dengan masyarakatnya yang mayoritas Muslim, yang kemudian juga terbagi menjadi Pakistan Timur dan Pakistan Barat. Di akhir hayatnya Gandhi berduka karena ajaran Satyagraha–nya tak mampu mencegah kebencian antara Hindus dan Muslim yang berakibat terbelahnya India. Tahun 1948, Gandhi tewas terbunuh di rumah ibadah oleh seorang Hindu fanatik yang tak setuju dengan paham The Brotherhood of Man yang dipimpinnya.
(The Biography Institute)

Minggu, 15 Februari 2009

Sebuah Nama "Chairil Anwar"




Chairil Anwar dilahirkan di Medan, 26 Juli 1922. Dia dibesarkan dalam keluarga yang cukup berantakan. Kedua orang tuanya bercerai dan ayahnya menikah lagi. Selepas perceraian itu, setelah lulus SMA, Chairil mengikut ibunya ke Jakarta.

Semasa kecil di Medan, Chairil sangat akrab dengan neneknya. Keakraban ini begitu memberi kesan dalam hidup Chairil. Dalam hidupnya yang amat jarang berduka, salah satu kepedihan terhebat adalah saat neneknya meninggal dunia. Chairil melukiskan kedukaan itu dalam sajak yang luar biasa pedih:

Bukan kematian benar yang menusuk kalbu/ Keridlaanmu menerima segala tiba/ Tak kutahu setinggi itu atas debu/ Dan duka maha tuan bertahta

Sesudah nenek, ibu adalah wanita kedua yang paling Chairil puja. Dia bahkan terbiasa menyebut nama ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu, sebagai tanda penyesalan nasib si ibu. Dan di depan ibunya, Chairil sering kehilangan sisinya yang liar. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan kecintaannya pada ibunya.

Sejak kecil, semangat Chairil terkenal kegilannya. Seorang teman dekatnya Sjamsul Ridwan, pernah membuat suatu tulisan tentang kehidupan Chairil Anwar ketika semasa kecil. Menurut dia, salah satu sifat Chairil pada masa kanak-kanaknya ialah pantang dikalahkan, baik pantang kalah dalam suatu persaingan, maupun dalam mendapatkan keinginan hatinya. Keinginan dan hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap, menyala-nyala, boleh dikatakan tidak pernah diam.

Rakannya, Jassin pun punya kenangan tentang ini. “Kami pernah bermain bulu tangkis bersama, dan dia kalah. Tapi dia tak mengakui kekalahannya, dan mengajak bertanding terus. Akhirnya saya kalah. Semua itu kerana kami bertanding di depan para gadis.”

Wanita adalah dunia Chairil sesudah buku. Tercatat nama Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid, Mirat, dan Roosmeini sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Dan semua nama gadis itu bahkan masuk ke dalam puisi-puisi Chairil. Namun, kepada gadis Karawang, Hapsah, Chairil telah menikahinya.

Pernikahan itu tak berumur panjang. Disebabkan kesulitan ekonomi, dan gaya hidup Chairil yang tak berubah, Hapsah meminta cerai. Saat anaknya berumur 7 bulan, Chairil pun menjadi duda.

Tak lama setelah itu, pukul 15.15 WIB, 28 April 1949, Chairil meninggal dunia. Ada beberapa versi tentang sakitnya. Tapi yang pasti, TBC kronis dan sipilis.

Umur Chairil memang pendek, 27 tahun. Tapi kependekan itu meninggalkan banyak hal bagi perkembangan kesusasteraan Indonesia. Malah dia menjadi contoh terbaik, untuk sikap yang tidak bersungguh-sungguh di dalam menggeluti kesenian. Sikap inilah yang membuat anaknya, Evawani Chairil Anwar, seorang notaris di Bekasi, harus meminta maaf, saat mengenang kematian ayahnya, di tahun 1999, “Saya minta maaf, karena kini saya hidup di suatu dunia yang bertentangan dengan dunia Chairil Anwar.”


Salah satu puisinya yang terkenal adalah "AKU"

AKU

Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

Maret 1943